Gadis Kretek: Rokok Kretek sebagai Alegori Pergerakan Perempuan dan Feminisme

Raisa Rahima
4 min readNov 10, 2023

--

Raisa Rahima & Dwi Rizky A.N.

Tokoh Dasiyah

Film Gadis Kretek (2023) karya Kamila Andini yang ditayangkan di Netflix menuai banyak perhatian dari publik lantaran premis ceritanya yang tidak enteng dan cenderung realis atau mencerminkan realitas sosial. Sederhananya, Gadis Kretek menceritakan tentang Dasiyah yang mengalami banyak tantangan dalam perjuangannya meracik rokok kretek lantaran stigma-stigma patriarkis yang menghantui masyarakat sekeliling Dasiyah pada zaman lalu. Tantangan ini dapat dispesifikasi lebih lanjut sebagai tantangan dalam memperjuangkan gender perempuan (gender-struggle) dalam inklusivitasnya untuk menjadi pekerja industri rokok.

Tantangan Dasiyah dalam memperjuangkan haknya sebagai pekerja perempuan dalam industri rokok dihalangi stigma masyarakat pada tahun 1964 terhadap konsepsi rokok. Rokok, pada zaman itu, dilabelkan sebagai objek yang hanya dapat dikonsumsi dan diracik laki-laki. Mitosnya, jika perempuan meracik tembakau untuk rokok, rokok itu akan menjadi asam dan tidak layak dikonsumsi. Tetapi tentu asumsi-asumsi doktrinal tersebut hanyalah semata mitos. Nyatanya, Dasiyah yang mana seorang perempuan berhasil meracik rokok tembakau yang diakui kualitasnya oleh ayahnya sendiri yaitu Idroes sang pebisnis rokok.

Yang menarik lebih lanjut untuk disorot dalam perjuangan Dasiyah merebut kesetaraan gender dan membantah mitos-mitos patriarki dalam industri rokok adalah bagaimana rokok kretek Dasiyah (Kretek Gadis) telah menjadi suatu alegori untuk pergerakan perempuan dan feminisme (feminism movement).

Alegori Rokok Kretek

Mengutip kamus Merriam-Webster, alegori adalah sebuah cerita di mana karakter dan peristiwa adalah simbol yang mewakili gagasan tentang kehidupan manusia atau situasi politik atau sejarah. Dengan kata lain, alegori adalah perumpamaan.

Dalam kajian ilmiah, metodologi untuk menginterpretasi suatu perumpamaan simbolis/alegoris dari suatu tokoh, atau tanda objek dalam film adalah semiotika. Menurut Tinarbuko (2008), semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda supaya dapat mengetahui bagaimana tanda tersebut berfungsi dan menghasilkan suatu makna. Sementara itu, menurut Christomy dan Yuwono (2004), berpendapat bahwa semiotika adalah studi tentang tanda-tanda (sign), fungsi tanda, dan produksi tanda.

Dari dua alat analisis film (alegori film dan semiotika) maka kita dapat menginterpretasi Rokok Kretek Dasiyah (Rokok Gadis) sebagai suatu perumpamaan untuk pergerakan perempuan dan feminisme.

Dalam beberapa adegan proses pembuatan rokok, Dasiyah sangat bekerja keras untuk masuk dalam ruangan racik-saus Pabrik Merdeka. Setelah masuk dan mulai produktif meracik, rokok racikan Dasiyah diketahui Pak Dibjo. Dasiyah dicerca Pak Dibjo, sang peracik saus kretek dengan stigma-stigma patriarkis. Pak Dibjo mengatakan “jangan salahkan saya jika kretek kita asam karena bau perempuan.”

Pada adegan ini, dapat diinterpretasi betapa rokok adalah manifestasi dari keinginan Dasiyah, sebagai perempuan, untuk diterima dalam masyarakat. Pabrik Merdeka, pabrik tempat Dasiyah bekerja, merupakan alegori atau lambang semiotis dari masyarakat sedangkan Pak Dibjo adalah manifestasi alegoris dari patriarkisme.

Pergerakan Perempuan yang melalui Rokok

Kisah pergerakan perempuan dan feminisme Dasiyah dalam alegori rokok patut kita refleksikan di Indonesia pada masa kini. Kini, di sekitaran kita, dapat ditemukan banyak perempuan merokok yang terstigmatisasi buruk oleh masyarakat. Jika perempuan merokok, ia dikonotasikan sebagai perempuan buruk, rusak, salah, pelacur dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak memiliki korelasi apa-apa dengan proses konsumsi rokok.

Hal ini membuahkan interpretasi masyarakat Indonesia yang 1). Masih dekat dengan logika mistika atau logika berbasis mitos dan 2). Betapa budaya patriarkisme yang merugikan masih begitu lekat di Indonesia.

Logika mistika sudah seharusnya tercerahkan dengan logika ilmiah yang melakukan spesifikasi koleratif antar dua variabel. Masyarakat seharusnya mencari apa hubungan merokok dengan konotasi buruk perempuan alih-alih langsung mencocokan keduanya sebagai suatu hal yang berhubungan kausal (jika perempuan merokok, maka buruk). Jika kita melihat korelasi merokok dengan suatu hal yang berkonotasi buruk, mungkin merokok memang merugikan bagi tubuh manusia. Meskipun demikian, konotasi perempuan buruk adalah hal lain. Perempuan buruk adalah hasil konstruksi masyarakat yang sangat dekat dengan budaya patriarkisme. Jika merokok merugikan dan buruk bagi tubuh manusia, mengapa laki-laki tidak dikonotasikan buruk ketika merokok?

Dengan logika ilmiah, jika laki-laki dapat memiliki konotasi netral karena merokok, seharusnya perempuan juga bisa lepas dari konotasi buruk sebagaimana ia adalah manusia juga. Keduanya mungkin akan menjadi tidak sehat lantaran merokok, tetapi keduanya harus berkonotasi netral secara konstruksi sosial.

Dapat dilihat betapa patriarkisme memainkan peran yang sentral dalam konstruksi sosial dan logika mistika “perempuan buruk”. Patriarkisme hanya ingin menguntungkan laki-laki dan mereduksi perempuan sebatas sebagai objek yang dapat dieksploitasi kapanpun dan di mana pun. Sehingga, laki-laki dapat terbebas dari konotasi baik-buruk sebagaimana ia adalah subjek sentral dalam peradaban manusia. Perempuan, di sisi lain, adalah objek yang dapat dilabeli baik maupun buruk hanya untuk konsumsi laki-laki.

Dasiyah telah menunjukkan kita betapa perempuan bukanlah objek yang dapat semudahnya dilabeli baik dan buruk dalam wacana patriarki. Perempuan adalah manusia, yang haknya setara dengan laki-laki dan gender lainnya.

--

--